Ujian Untuk Sang Ayah

Nabi Ibrahim adalah sosok yang sangat gagah. Beliau memiliki kelengkapan dalam diri, baik fisik maupun ilmunya, hampir menyerupai Rasulullah Shallallaahu ‘Alayhi Wasallam. Nabi Ibrahim memiliki 2 orang istri, istri pertama bernama Sara dan istri kedua bernama Siti Hajar. Sara yang sudah menikah sangat lama dengan Nabi Ibrahim, belum mampu memberikan keturunan pada beliau, hingga usia Sara mencapai 60 tahun. Sementara itu, Siti Hajar, merupakan budak pemberian Raja Mesir yang kemudian dimerdekakan oleh Nabi Ibrahim dan dinikahinya, justru lebih dulu mengandung anak dari Nabi Ibrahim. Usia Hajar lebih muda 15 tahun dari pada Sara, yang berarti saat itu ia 45 tahun. Namun, setelah itu, timbul rasa cemburu dalam diri Sara, hingga ia berdoa pada Allah agar diberikan kesempatan untuk mengandung anak Nabi Ibrahim. Sekitar 2 bulan kemudian, Sara hamil dan ia juga mengandung anak Nabi Ibrahim di usianya yang memasuki 62 tahun. Setelah kurang lebih setahun anak yang dikandung Siti Hajar lahir, lahir jugalah anak yang dikandung Sara. Anak dari Hajar diberi nama Ismail, sementara anak dari Sara diberi nama Ishaq. Inilah yang menjadikan Nabi Ibrahim mendapat sebutan “Abu Anbiyaa” atau ayahnya para nabi, karena Ismail dan Ishaq pun kemudian hari menjadi nabi.
Selang waktu berjalan, ketika Ismail masih pada usia menyusui, Nabi Ibrahim mendapat perintah dari Allah untuk membawa Hajar dan Ismail ke suatu daerah berupa lembah (sekarang adalah Kota Mekkah) kemudian meninggalkan mereka berdua di sana.
Sungguh sebuah ujian yang berat bagi Sang Ayah, setelah menantikan kehadiran anak sekian tahun lamanya, beliau harus melepaskan anaknya di tengah daerah tandus tanpa bekal sedikit pun. Begitu pula dengan Sang Ibu, tapi mereka berdua yakin dengan keputusan Allah.
Hajar bingung, kehidupan yang ia alami sangat berat, karena lembah tersebut sangat kering, tidak ada tetumbuhan, jauh dari keluarga, dan sebagainya. Suatu ketika, ketika Hajar sedang mencari peradaban, ia berhenti karena letih dan anaknya Ismail menangis. Ismail menangis, lalu menghentakkan kakinya ke tanah dan memancar sebuah mata air yang hingga kini dikenal dengan “Zamzam” (ada riwayat yang mengatakan bahwa itu bukan karena hentakan kaki Ismail, namun karena kibasan sayap Malaikat Jibril yang diutus Allah untuk menolong Hajar). Dari sanalah Hajar mendapat kehidupan, bahkan sampai sebuah Suku Arab dari Yaman pindah ke daerah tersebut untuk membuat suatu kehidupan. Suku tersebut bernama Jurhum. Ismail tumbuh besar bersama mereka hingga ia pun menikah dengan salah seorang dari mereka. Ia sempat bercerai atas perintah Ibrahim, kemudian menikah kembali dengan salah seorang dari mereka.
Nabi Ibrahim sangat sering mengunjungi Mekkah untuk melihat perkembangan anaknya, Ismail, yang kian dewasa. Ketika Ibrahim sangat sayang kepada anaknya yang begitu shalih. Setelah bertahun-tahun berpisah dan dipertemukan, Nabi Ibrahim kemudian mendapatkan perintah menyembelih anaknya, Ismail. Tapi sekali lagi, walaupun berat namun karena ini perintah Allah maka beliau taati.
Sampailah ketika Ibrahim menyampaikan maksudnya untuk menyembelih sang anak. Ismail, sebagai anak yang patuh, pun menurut. Ketika itu, mereka pergi ke Mina, yang merupakan area perbukitan dengan 3 titik. 3 titik tersebut kemudian dilempari batu oleh Ibrahim untuk mengusir syaithan sembari mengucap ucapan-ucapan yang mengagungkan Allah, hingga syaithan pun hilang dari ketiga titik tersebur. Ketika Ibrahim hendak menyembelih dan pedangnya hampir sampai di leher Ismail, Jibril menahan tangannya dan mengganti Ismail dengan sembelihan yang sangat mulia. Inilah balasan Allah kepada hambaNya yang patuh dan taat akan perintahNya.
Hingga kemudian Nabi Ibrahim kembali ke Ka’bah bersama Ismail, kemudian memperbaiki Ka’bah yang sudah sempat dibangun oleh Nabi Adam bersama anaknya, Shif, namun kemudian rusak ketika banjir bandang pada masa Nabi Nuh. Nabi Ibrahim sempat melompat ketika memeriksa kondisi Ka’bah dari kejauhan, hingga kakinya membekas di tanah dan kini Allah mengabadikannya hingga dikenal dengan “Maqom Ibrahim” oleh seluruh umat muslim. Rangkaian kegiatan Nabi Ibrahim inilah yang menjadi asal mula ibadah haji dan kemudian dilanjutkan hingga masa kini. Allah abadikan ketaatan Ayah dan Anak dalam kegiatan yang kemudian dilakukan berjuta-juta ummat Muslim di dunia.
Dari kisah hidup Nabi Ibrahim, kita dapat mengambil pelajaran bahwa mengorbankan orang yang kita cintai itu sangatlah sulit, apalagi keluarga terdekat kita, namun bila itu perintah Allah, maka utamakanlah, karena Allah pasti akan menggantinya dengan yang lebih baik. InsyaaAllah.
Semoga Allah semakin tingkatkan keimanan kita dengan momen yang menyatukan ini. Aamiin ya rabbal ‘aalamiin.

Tinggalkan komentar