Menjadi seorang suami bukan berarti menjadi seorang jenderal yang bila memerintah harus dipatuhi, ditakuti dan dikhawatirkan kedatangannya, yang harus terlihat keras.
Tapi bukan pula yang tunduk pada semua kemauan istrinya, plin plan tak punya pendirian, tak bisa mengambil keputusan dan terlihat lemah tak punya wibawa.
Menjadi suami adalah diantara keduanya, agar dihormati dan mendapatkan tempat bernilai di hati dan pandangan istrinya. Bisa diandalkan dan pandai memberi kepastian.
Sebab jika suami lemah istrinya berubah menjadi macan, bila suami terlalu keraspun istrinya takkan nyaman. Menjadi suami adalah tentang menyeimbangkan diri dan tentang menjadi adil.
Tak lekas marah ketika istrinya berbuat yang keliru, juga tak membiarkan istri hingga dosa dan kesalahannya dilakukan terus-menerus. Tegas tapi tak kasar, lembut tapi tidak lemah.
Menjadi suami berarti berada di depan tanpa merasa lebih tahu, memimpin bukan menguasai, mengawal bukan mengamankan, membimbing dan bukan menyuruh-nyuruh.
Sebab Islam itu menyuruh lelaki memuliakan istri, bukan hanya memanjakannya. Memuliakan itu mendidiknya hingga taat kepada Allah, sedangkan memanjakan itu membinasakan.
Dan suami terbaik bukan yang bisa menyediakan apapun yang istrinya minta, tapi yang bisa mengajak istrinya menaati Allah dengan apapun yang dia miliki.
Bila ketaatan itu sudah mewujud dalam rumah tangga, maka Allah akan turunkan sakinah yang mereka pinta, ketenangan dalam menghadapi apapun di dunia.