Kita sama sama saling belajar ya Nak.
Seiring berjalannya sang waktu, ceritra pun mulai memilih alurnya sendiri.
Drama kelahiran mu sudah lewat satu bulan Nak. Berbekal jarak pulau dengan ayah mu. Membuat kita harus menjadi kuat bersama. Kau berusaha dari alam yang belum pernah kita jumpa, ibu berjuang di tengah kesiagaan waktu (takut takut anak ibu tidak sabar untuk bertemu), dan ayah berjuang di tengah khusuknya doa agar bisa menemani dan langsung menjadi orang pertama yang mengAdzan kan mu Nak.
Kita manusia bisa berencana, namun tetap eksekusi adalah Dia semata. Kita bisa mengira ngira, namun takdir punya alur dan kehendaknya.
Engkau terlahir sebelum waktunya, pun ditengah jarak dengan sang ayah.
Namun tetap syukur Alhamdulillah atas semua rencanaNya. Karena pembuat rencana tahu mana yang terbaik bagi hambaNya.
Tetes keringat, tatihnya napas membuat Ibu ingin menyerah Nak. Tak kuat rasanya saat kelahiran mu sudah waktunya. Tak ada pijitan mesra ataupun pegangan manja. Yang ada hanya ucapan “kamu kuat, tak boleh bersuara, gigit kain ini, tarik napas”. Bukannya makin mudah malah sakit yang bertambah Nak. Namun disanalah poin utamanya, semakin sakit yang Ibu rasa semakin cepat proses pertemuan kita.
Jujur, sakit mengalahkan logika bahwa engkau masih bersarang disana. Rasanya Ibu ingin segera mengakhirinya.
Ikhtiar luar biasa saat engkau sudah muncul meski hanya bagian kepala. Mau tidak mau napas ini pun harus terus berpacu dengan sang waktu. Agar engkau terlahir utuh, dan segera bisa bertemu dengan Ayah dan Ibu. Selang waktu tangisan itu menggema menggetarkan ku. Engkau nyata Nak, tidak berupa foto dan detakan mu saja. Kini engkau berupa, entah rupa ayah atau Ibu yang ku tau engkau lah mujahid kami.
Genap sebulan usia mu, dengan kepintaran yang makin hari bertambah tambah. Dengan cerita yang berbeda dan dengan pelajaran baru disetiap harinya. Terkadang ibu berasa gila Nak setelah ada nya dirimu. Tertawa sendiri melihat tingkah mu Nak. Atau tak jarang haru saat engkau menangis di tengah malam untuk sekedar melapor bahwa “Aku haus Bu”.
Dan masih banyak ragam ekspresi yang kami dapati setelah kehadiran mu.
Baru dari sisi Ibu mu Nak.
Berlebih lagi dengan ayah mu Nak. Tiap saat menanyakan kabar dan keadaan mu. “Sudah mandi? Sudah ngAsi? Sudah tidur?”. Begitu besar perhatian dari kami semua Nak, agar engkau tumbuh dan besar di tengah keluarga ini.
Nak jujur kami kerap dirundung rasa takut. Takut menjadi orang tua jika kelak kami lalai akan amanah ini. Takut jika dunia lebih kami kedepan kan kepada diri mu. Atah takut jika kelak kami menjadi lupa bahwa tujuan engkau dititip kepada kami adalah sebagai pembelajaran bagi kehidupan ini.
Namun janji ini telah terpatri jauh sebelum engkau hadir di dunia ini, bahwa setiap perjalanan kehidupan mu akan menjadi tanggung jawab kami dan kelak menjadi persaksian di hadapan Ilahi