Senja di Ghaza. Kota di mana aku dilahirkan dan dibesarkan. Aku mengendap-endap menyelinap ke sebuah bangunan kumuh dan tak terawat. Pintunya berderik keras ketika dibuka, Di sudut ruangan tergeletak sebuah lemari reot dipenuhi tumpukan buku-buku yang telah berdebu. Sepasang kursi malas mengapit lemari itu, yang tak kalah tua dan usangnya. Kuletakkan senjata laras panjang di atas bangku itu dengan hati-hati, begitu juga topeng hitam yang biasa menyelimuti wajahku. Perlahan-lahan aku bergerak masuk dan berdiri terpaku dalam tawanan sepasang mata hitam yang menatap dingin dari dalam sebuah kamar.
“Mengapa engkau kemari ?” suara serak perempuan tua itu masih sama. Usia tidak mampu menaklukan kekuatan ruhiah yang terpancar dari kata-katanya. Aku terdiam tak mampu membalas tatapan matanya. Dari sudut mataku kulihat dua bocah laki-laki tertidur pulas di atas pembaringan. Wajah mereka yang putih dan pucat mengingatkanku kepada ibu mereka. Hatiku nelangsa membayangkan masa depan macam apa yang akan dihadapi mereka.
“Maafkan aku karena kelemahan hatiku, tapi … ijinkan aku untuk berada di sini sebentar saja,” kataku setengah memelas, tak berdaya dihadapan perempuan tua yang telah melahirkan dan membesarkanku. Wajah perempuan yang selalu berhiaskan senyuman itu kini terlihat keras dan dingin, seolah tak mengharapkan kehadiranku dihadapannya. Aku merasa canggung dengan sambutannya yang kaku. Tapi aku memaklumi kekecewaannya. Ia pernah berpesan untuk tidak kembali menemuinya jika tidak ada hal teramat penting yang ingin disampaikan. Hal itu bisa membahayakan keselamatan kami semua.
Tak ada kata-kata yang keluar dari mulutnya. Kami larut dalam keheningan untuk sesaat. Rasanya ingin aku bersimpuh seperti dulu…. tapi kini aku tak mampu.
“Apa yang meresahkanmu ?” bibirnya yang keriput bergerak lambat. Mencoba menebak apa yang sedang berkecamuk dalam hatiku. Aku menelan ludah, mencoba menghindari tatapan matanya.
“Aku mungkin … ” ujarku gemetar. Wajah muramku semakin muram. “…aku mungkin tak bisa meneruskan perjuangan ini…” kataku penuh duka. Kenyataan itu mengiris hatiku dan meluluh lantakan ketegaranku. Ketika peluru panas dari senjata yang kupegang, menembus tubuh seorang laki-laki yang kemudian meregang nyawa dihadapanku. Aku tercenung… tak mampu melanjutkan kata-kataku. Bayang-bayang pertempuran itu merobek kulit yang membungkus jiwaku. Mengucurkan darah yang sulit untuk kuhentikan. Betapa bodohnya dia… bukankah musuh kita sama ? bukankah seharusnya kita bersatu mengusir penjajah yang merampas tanah air dan hak rakyat Palestina? Mataku memanas. Ada monster bergerak-gerak dalam perutku. Aku muak… muak dengan segala yang kurasakan.
Pandangan perempuan tua itu semakin menusuk… kerutan di wajahnya kini terlihat jelas. Ada duka bergelayut, tetapi ekspresinya masih tetap sama.
“Jadi kau hendak mundur ?” katanya kaku. Sekilas kulihat kekecewaan berkelebat di matanya, bergantian dengan kekhawatiran.
“Aku…. aku tak tahu…” ujarku getir. Bagaimana mungkin aku mundur dan membiarkan kaum yang dilaknat Allah itu menghancurkan kiblat pertama umat Islam. Tapi kini aku harus berhadapan dengan sesama rakyat Palestina, saudara-saudara kami yang bersikap lemah terhadap tekanan sekutu-sekutu Zionis Israel. Bagaimana mungkin saudara kami masih percaya dengan janji manis mereka ? Mereka memaksakan demokrasi ala Barat di Negara kami. Tapi ketika kemudian hasilnya tidak sesuai dengan keinginan mereka, dengan mudah mereka mengkhianatinya… dengan mudah mereka menodainya.
Perempuan tua yang prinsip hidupnya terpancang kuat bagai karang dilautan, kini bangkit perlahan dari duduknya. Ia bergerak menghampiriku dengan kaki pincangnya karena pengeroposan tulang yang dideritanya. Gamis hitam yang membalut tubuhnya terlihat begitu lusuh dan bulukan. Perang telah membuat kami semua tak lagi memikirkan kesejahteraan. Bisa bertahan hidup sampai saat ini rasanya sudah merupakan suatu anugrah yang layak untuk disyukuri. Disyukuri karena kami masih memiliki waktu untuk beramal di dunia dengan berjuang. Tidak semua orang memiliki kesempatan untuk berjihad seperti layaknya kami, bangsa Palestina. Begitu selalu kudengar dari mulut kecil perempuan tua yang kini telah berdiri di hadapanku.
Aku menatapnya lama sekali. Wajah tirusnya terlihat pucat seperti pualam dengan kantung mata menggantung di bawah kedua matanya yang selalu bersinar cerah. Ingin sekali kuserahkan segala kegelisahanku pada jiwanya yang begitu damai. Tak pernah ia khawatir kehilangan apapun kecuali harga diri dan keimanannya. Tak pernah kulihat ia mengeluh pada saat dirinya harus menjaga diriku dan kedua kakakku yang masih kecil-kecil, pada saat suaminya tercinta diambil dari sisinya. Abi gugur sebagai syuhada, begitu yang selalu ia ceritakan pada kami.
“Ini bukan pertama kalinya kau menghadapi saudaramu. Jauh sebelum ini, selalu ada orang yang menodai kehormatan bangsanya sendiri,” kata-katanya keras menghujam bagai belati yang merobek-robek hati pendengarnya. Aku terpekur… gelisah, badanku mengeluarkan keringat dingin yang tak bisa kucegah. Sepertinya hawa dingin mendekapku seketika dan menggrogoti sel-sel dalam tubuhku.
“Benarkah yang kulakukan ?” tanyaku pasrah. Aku sekali lagi hendak menyandarkan kegalauanku di pundaknya yang kecil, tapi kekuatan jiwanya jauh lebih besar dari tubuhnya yang ringkih. Matanya yang bercahaya seketika meredup, seolah ia baru saja mendapatkan berita buruk. Ia terdiam sesaat, kemudian menjawab pertanyaanku sambil memegang tanganku yang kasar, penuh dengan bekas luka akibat pertempuran.
“Mempertahankan kebenaran selalu menuntut pengorbanan. Jangan pernah berharap jalan itu akan mudah.” katanya sambil meremas tanganku dengan keras, seolah hendak mengalirkan semangat hidupnya kepadaku.
Aku menunduk, menatapi ujung sepatuku yang solnya sudah sedikit menganga. Aku tahu benar kemana arah percakapan ini. Ia telah menegaskan sejak dulu, bahwa jiwa seorang muslim telah tergadai kepada Allah. Ketika seorang muslim meyakini bahwa hanya Allah semata yang menjadi tujuannya hidupnya, maka dirinya tak akan lemah. Jika kesenangan meliputinya, seorang muslim akan bersyukur, dan ketika kesulitan dating menjerat, ia akan bersabar. Allah menyukai muslim yang kuat, itu yang biasanya dikatakan perempuan tua itu pada saat kesukaran demi kesukaran dilaluinya dengan tenang dan tegar.
Tapi kini kesedihan dan kemarahan sepertinya justru melemahkan diriku. Bagaimana mungkin sebagian pemimpin di negeri ini, yang seharusnya mengobarkan semangatnya untuk memerangi para penjajah, justru tergoda melihat dolar-dolar yang disebarkan oleh musuhnya. Memungutinya karena takut lapar, dan rela mengkhianati bangsanya sendiri. Apakah mereka lupa, bahwa Rosulullah dan para sahabat pernah diboikot oleh kaum kafir Mekah selama 3 tahun, tetapi mereka tetap kuat mempertahankan akidahnya ? mengapa kini sebagian saudara-saudara kami, rela dijadikan budak-budak yang mengabdi pada kepentingan Zionis demi kekuasaan ? Sungguh menyedihkan… tak pernah kulihat hal yang sebodoh ini.
Mata perempuan tua itu mengamati diriku tanpa berkedip, sepertinya ia berusaha menahan kerinduan yang nyaris meledak dari dalam dadanya. Sudah hampir dua tahun aku tidak bertemu dengannya. Kutinggalkan dua laki-laki kecil, buah cintaku, dalam pengasuhannya. Ketika pagi itu bom Zionis menggelegar, meluluh lantakan pasar dekat tempat tinggalku, dan menewaskan puluhan nyawa tak bersalah. Salah satunya adalah istriku yang saat itu sedang mengandung anakku yang ketiga. Kenangan itu kembali menari-nari dalam ingatanku. Aku begitu merindukan istriku. Berharap senyumnya muncul dari balik pintu kamar ini dengan anak-anak dalam pangkuannya, dan menguatkan diriku yang lemah dan tak berdaya.
Mataku kembali memanas, kemudian butiran bening itu perlahan-lahan merebak di sekitar bola mataku. Kutahan sekuat tenaga agar mereka tak bergulir memenuhi pipiku. Aku tak membebani perempuan tua yang amat kucintai dengan emosi yang akan semakin memperlemah diriku . Tapi rasanya semua sia-sia. Ia telah menelanjangi hatiku dengan intuisinya dan naluri keibuanya yang begitu kuat.
“Menangislah … kau hanya manusia anakku… “ ujarnya pelan. Kekakuannya mulai menghilang, wajah tua itu mendadak melunak. Aku merasa kembali menjadi bocah berumur belasan tahun, yang selalu dihibur perempuan tua di hadapanku tiap kali aku merasa sedih.
“Bukankah Rosulullah juga mengalami seperti yang kau rasakan, ketika ia kehilangan istri yang sangat ia cintai dan paman yang selalu membelanya ? Ia pun merasa sedih, ketika dakwah yang ia sampaikan berujung kepada penghinaan dan penyiksaan.” katanya lembut mencoba membesaran hatiku. Senyum mengembang dari sudut mulutnya yang mungil.
Aku menghela nafas sambil mengusap sebutir air mata yang jatuh dari sudut mataku. Tiba-tiba aku merasa begitu lelah dan letih. Aku berjalanan mendekati pembaringan di mana kedua anak laki-lakiku tertidur pulas. Kurebahkan badanku di sisi mereka, yang tak sadar akan kedatangan ayah yang tak pernah bisa mendampingi mereka. Kening mereka kukecup satu demi satu, diiringi doa dan pengharapan agar suatu hari kedamaian dapat kembali kami rasakan.
Kutatap langit-langit kamar yang masih sama ketika dulu aku tinggalkan. Seketika pikiranku mengembara ke masa lalu, ketika suara perempuan dihadapanku mengisi hari-hariku. Kamar ini merupakan saksi betapa kuatnya pengaruh seorang ibu dalam membentuk karakter anak-anaknya. Aku masih ingat, ia selalu mengisi malam-malam kami yang mencekam dengan cerita perjuangan Rosulullah. Matanya berbinar-binar walaupun suara sirene dan tembakan bersaut-sautan di sekitar kami. Saat itu biasanya aku dan kedua kakakku akan gemetar ketakutan, menangis terisak-isak atau bahkan berteriak-teriak memanggil-manggil abi kami yang entah ada dimana. Tetapi perempuan hebat itu selalu berhasil menguatkan kami dengan cerita-ceritanya. Ia bercerita tentang kegigihan Rosulullah dalam menyampaikan kebenaran Islam. Tentang pertempuran-pertempuran yang dihadapi Rosul dan para sahabat dalam menegakkan panji-panji Islam di muka bumi. Ia juga berulang-ulang memberitahu kami, bahwa Rosulullah dan para sahabat tak pernah sedikitpun tergiur menerima tawaran harta, tahta dan kenikmatan dunia yang ditawarkan untuk membeli keimanan mereka.
Rosulullah juga tak pernah bersekutu dengan orang-orang kafir untuk memerangi orang muslim lainnya. Umat Umat muslim adalah umat yang terbaik, selama mereka tetap berpegang teguh kepada Al Qur’an dan Hadits, begitulah keyakinan yang selalu ia tanamkan dalam benak kami.
Aku menelan ludah. Mataku beralih membalas tatapan wajah tua yang masih menatapku penuh arti. Sekarang lihatlah kondisi umat yang kau banggakan, wahai Umi. Bagaimana kau masih bisa tersenyum, padahal kemaksiatan dan keburukan dikemas sedemikian indahnya oleh musuh-musuh kami, seolah-olah ia adalah suatu kebenaran. Sedangkan Al Qur’an dan Hadits sudah sejak lama ditinggalkan dan hanya menjadi barang pajangan di rumah – rumah kaum muslimin. Bagaimana kau menahan air matamu, ketika melihat para pemimpin umat ini berbondong-bondong menjual harga dirinya kepada kaum Zionis. Mereka mengundang para tentara kafir ke negerinya, kemudian memberondong saudara mereka sendiri dengan bom dan granat untuk mendapatkan kekuasaan ?
Lalu, bagaimana hatimu mampu meredam luka kekecewaan, ketika melihat sebagian umat muslim lainnya terjajah tanpa sadar. Mereka dibanjiri produk-produk Zionis yang sebagian dari keuntungannya digunakan untuk membeli peluru untuk menembaki bocah-bocah muslim di Palestina, Irak, Afganistan dan negeri-negeri muslim lainnya. Itu kenyataan Umiku. Aku juga yakin kau akan memilih untuk menjadi buta dan tuli, dari pada mendengar berita-berita palsu yang disebarkan oleh Zionis ke rumah-rumah keluarga muslim di seluruh dunia. Berita yang memfitnah dan mengadu domba. Berita yang membuat kami saling curiga dan terjebak dalam perang saudara yang tak kami inginkan. Lalu bagaimana kami bisa bertahan ?
Dadaku terasa sesak. Rasanya tidak mungkin menyatukan umat yang telah terpecah belah. Kami sudah terlalu buruk, tak ada lagi yang tersisa. Benar, jumlah kami memang banyak. Tapi kami tak lebih dari buih yang melayang-layang, tak memiliki kekuatan untuk menghadapi musuh. Kami dikepung dari segala penjuru, tak ada jalan untuk keluar. Ya… tak ada jalan keluar.
“Jangan pernah berputus asa dari rahmat-NYA …” tiba-tiba suara perempuan tua itu memutuskan lamunanku, seolah ia dapat membaca pikiran yang ada dalam benakku. “…tetaplah berjuang anakku. Berjuanglah seperti Hamzah, Umar dan para syuhada lainnya. Sandarkanlah niatmu hanya kepada Sang Pemilik Hidup,” kata-katanya, sekali lagi, begitu tenang dan menggetarkan.
Tiba-tiba suasana perang uhud seperti terbanyang dalam kepalaku. Ketika pertama umat Islam meperoleh kemenangan, semua terlena… tetapi kemudian kemenangan itu berbalik. Khalid bin Walid, yang ketika itu masih memimpin kaum kafir, berhasil memporak porandakan pasukan pemanah muslim yang tergiur oleh harta rampasan perang. Pasukan muslim tercerai berai, panik dan kehilangan arah. Sebagian dari mereka bahkan putus asa begitu mendengar kabar bahwa Rosulullah telah tiada. Tetapi sebagian dari mereka tetap bertahan, dengan darah dan nyawanya. Panji-panji Islam dipertahankan walau tubuh mereka tercacah pedang dan ratusan anak panah menghujani. Mereka bangkit… walau dengan sisa-sisa nafas yang masih mereka miliki.
“Janganlah kamu bersedih, dan jangan (pula) kamu bersedih hati, padahal kamu orang yang paling tinggi (derajatnya), jika kamu orang-orang yang beriman. Jangan engkau bersedih, sesungguhnya Allah bersama kita“
Aku segera beristigfar mendengar kutipan Ayat-ayat Allah yang bergulir lembut dari mulut perempuan itu… badanku seperti ditarik ketika hampir saja terjatuh ke dalam lubang gelap yang dalam dan tak berujung. Tubuhku yang basah oleh keringat kini terasa sangat nyaman. Perlahan-lahan kutarik nafas panjang sambil kupejamkan kedua mataku. Aku dapat melihat wajah istriku yang cantik tersenyum kepadaku. Ia mengenakan pakaian sutra yang sangat indah sambil duduk di antara butiran mutiara di sisi sebuah telaga. Telaga itu sangat indah, airnya lebih putih dari susu, batu-batunya adalah intan berlian, dan mutiara. Disamping istriku, wajah Abi yang teduh dan kedua kakakku yang syahid belum lama ini, melambai riang kepadaku.
“Aku mencium wangi surga , Umi……” kataku lamat-lamat.
Perempuan tua itu tersenyum. Sinar matanya memancarkan cahaya keemasan yang merangkak naik menuju cakrawala nan luas, membiaskan siluet senja yang sangat indah. Siluet senja di Ghaza