Nyai Ontosoroh

Sosok tokoh fiksi luar biasa yang dimunculkan Pramodya Ananta Toer dalam tetralogi novel Pulau Buru – nya
Sebuah pengantar
Nyai ontosoroh atau sanikem adalah sesosok wanita hebat dan penuh karakter yang dimunculkan penulis Pramoedya Ananta Toer dalam novelnya tetralogi buru. Diterangkan bahwasannya sanikem lahir di Tulangan, Sidoarjo pada masa kolonial Belanda. Ayahnya adalah seorang juru tulis bernama Sastrotomo. Dan dari ayahnya inilah dia menerima pengalaman pahit di serahkan kepada kontrolir perkebunan saat itu untuk dijadikan gundik guna memenuhi ambisi pribadinya menjadi juru bayar pada perkebunan tebu. Pada masa itu lazim seorang belanda berjabatan memiliki istri tidak sah atau gundik, baik gundik itu dia dapatkan dengan sukarela atau memaksa orang tua dari si wanita agar menyerahkan anaknya. Dari sinilah hidup sanikem berubah sepenuhnya , hidupnya sebagai wanita jawa yang kerdil dan terkekang adat perlahan berubah menjadi sesosok wanita berkepribadian kuat. Pergulatan batin yang hebat melahirkan motivasi untuk menjadi maju, setelah berdamai dengan nasibnya dia menimba ilmu tentang banyak hal kepada tuannya. Sehingga jadilah dia wanita modern yang telah berkembang jauh meninggalkan bangsanya sendiri saat itu.

Karir dan Pendidikan

Selepas tuannya pensiun dari jabatan kontrolir perkebunan tebu, sanikem diboyong ke wonokromo untuk menemani tuannya membangun perusahaan pertanian dan peternakan. Dari tuannya dia mendapat banyak sekali pelajaran baik tentang manajemen dan strategi mengembangkan perusahaan maupun tentang sastra dan bahasa belanda. Dari pengajaran tersebut, sanikem mengenal dunia luar dan kebebasan yang sudah berkembang di eropa. Meski tak pernah sekolah formal, atas disiplinnya belajar pada tuannya membuatnya menjadi orang yang sangat terpelajar bahkan bisa dibilang melebihi orang-orang yang sudah mengenyam pendidikan formal dasar saat itu. Sanikem membantu tuannya merintis perusahaan, sanikem membaca banyak buku yang menambah banyak ilmunya dan memperluas pandangannya tentang kehidupan. Timbul kesadaran dalam diri sanikem bahwa sesungguhnya budaya dan adat jawa yang selalu diagungkan masyarakat jawa sangatlah jauh terbelakang daripada dunia luar, dan mulai terpikir olehnya mungkin karena hal tersebut bangsa jawa masih ditindas sejauh ini.
Selain perusahaan mereka Borderij Buitenzorg semakin besar dan berkembang, kehidupan mereka semakin bahagia setelah lahirnya dua anak ditengah-tengah mereka. Perusahaan mereka menjadi sangat besar melingkupi beberapa desa dan menghasilkan berbagai komoditi tani dan berliter-liter susu sapi. Mereka dapat membangun rumah kayu megah dan mewah dengan hasil kerja bersama. Julukan Nyai Ontosoroh didapat dari nama perusahaannya yaitu Borderij Buitenzorg yang oleh lidah jawa menjadi ontosoroh. Jadilah Nyai Ontosoroh, seorang nyai yang menawan dan pengatur perusahaan besar BorderijBuitenzorg di wonokromo.

Seorang pejuang gigih

Sejak kecil Nyai Ontosoroh menyimpan dendam kesumat pada sistem kehidupan sekitarnya, baik itu sistem perkebunan yang membuat petani semakin terpuruk serta sistem pemerintahan kolonial yang selalu menindas pribumi. Perjuangannya sebagai seorang pribadi dimulai ketika tuannya tak kunjung mau untuk menikahinya secara resmi. Sudah umum saat itu, seorang nyai tidak mempunyai harga diri bagi masyarakat maupun di hadapan hukum. Dianggap kasta paling rendah dan tidak bermoral. Hanya anaknya saja yang diakui, itupun setelah sang ayah membaptisnya di depan pendeta. Perasaannya sebagai seorang ibulah yang membuatnya tetap bertahan.
Pada suatu waktu tuannya tiba-tiba berubah menjadi pribadi yang sangat buruk. Dengan segenap kemampuan yang telah didapatnya Nyai Ontosoroh mengambil alih mengatur perusahaan dibantu putrinya yang masih sangat muda. Perusahaan berhasil bertahan, bahkan berkembang menjadi lebih besar lagi. Cobaan selanjutnya adalah ketika tuannya meninggal, keluarga dari tuannya menuntut hak asuh atas anaknya dan juga semua harta warisan mendiang tuannya. Semua hal yang dimiliki selama ini, baik harta maupun keluarga secara sepihak dan tanpa persetujuan akan segera direnggut darinya. Sebagai seorang ibu yang sangat menyayangi putrinya dan sebagai pemilik sebagian saham perusahaan Borderij Buitenzorg maju ke pengadilan guna mempertahankan apa yang dirasa hak dan miliknya. Sudah cukup perbudakan pada dirinya, baik itu oleh pemerintah maupun dari adat yang ditimbulkan kolonial selama ini. Dengan dibantu oleh menantunya minke, dia menjadi pribumi pertama yang berani menuntut bangsa eropa di pengadilan eropa pula. Nyai Ontosoroh sudah mengetahui akan kalah, sebab pengadilan selalu memenangkan pihak belanda atas pribumi. Pengadilan telah kehilangan satu-satunya keutamaan padanya, yaitu keadilan itu sendiri. Namun Nyai Ontosoroh merasa masih harus melawan, sebagai awalan dan contoh bagi bangsanya serta sebagai perlawanan terbaik darinya. Meski akhirnya dia kalah dan semua anaknya meninggal secara tidak layak dan jauh darinya.

Ibu ideologi dan roda pendorong bagi minke

Pertemuannya dengan seorang pelajar bernama minke yang akhirnya menjadi menantunya memberikan sebuah pandangan gerakan apa yang dibutuhkan untuk memperbaiki bangsa ini. Minke adalah seorang penulis dan pelajar cerdas, sesosok wajah terpelajar dari pribumi yang semakin terpuruk. Menurut Nyai Ontosoroh, minke adalah harapan bangsa ini jika ingin berkembang. Dengan dibantu minke, nyai membela haknya di pengadilan. Melawan semua cobaan yang akan datang. Nyai menjadi ibu ideologi bagi minke, bahwa hanya pengetahuan dan berserikatlah bangsa ini akan dapat memperjuangkan haknya sendiri dan membela hak sesamanya. Nyai membesarkan hati minke, mengajarinya apa yang dirasa perlu. Menguatkan minke untuk berjuang bagi bangsanya sendiri, jika bukan dirinya entah siapa lagi. Dan jika bukan dirinya yang memulai, lalu siapa lagi. Minke yang terpelajar merasa kerdil akan pengetahuan Nyai Ontosoroh yang sangat luas melebihi dirinya. Karisma seorang nyai menyihir seorang minke untuk selalu mengaguminya. Banyak sekali hal yang minke dapatkan dari mertuanya itu, baik itu tentang ketegaran dalam menghadapi hidup maupun tentang pengetahuan dunia luar. Setelah istrinya meninggal sebab perawatan yang tak semestinya oleh saudara tirinya yang merenggutnya dari hindia dan keluarganya, minke melanjutkan pendidikan ke STOVIA di Betawi untuk menjadi seorang dokter.
Dinamika kehidupan minke menyebabkannya dikeluarkan dari STOVIA dan diharuskan mengembalikan biaya yang telah diberikan selama menjadi siswa STOVIA. Tanpa pikir panjang, Nyai Ontosoroh yang baru merintis perusahaan baru di wonocolo setelah terusir dari perusahan yang dibesarkannya mengirimkan 3500 gulden untuk membantu minke. Angka yang luar biasa besar, namun nyai tak pernah merasa rugi atas perbuatan tersebut. Dari uang inilah minke membayar “ hutang “-nya pada STOVIA, dan dengan sisa uang tersebut minke menggejolakkan dinamika hidupnya menjadi lebih dinamis. Seruan nyai dan sahabat-sahabatnya untuk memulai membangun organisasi untuk membela bangsanya perlahan dilaksanakannya, sehingga berdirilah beberapa organisasi atas prakarsa minke antara lain Syarikat Dagang Islam yang lambat laun menjadi organisasi pribumi dengan jumlah anggota yang sangat besar dan terkenal hingga ke eropa. Dengan uang tersebut pula minke mendirikan majalah dan Koran pribumi pertama di hindia, yaitu “Medan“. Dari Medan minke menerima pengaduan penindasan sewenang-wenang pada pribumi dan membela serta menyebarkannya kepada semua pembacanya. Muncullah “ Medan “ sebagai media propaganda dan penyampai informasi guna menyatukan pikiran dan menggalang paham nasionalisme di kalangan pribumi.
Dari sini peran Nyai Ontosoroh sangatlah penting, meski secara tidak langsung. Seorang minke tidak akan menjadi sedemikian hebat dan berpengaruh jika tidak bertemu dan dibantu seorang Nyai Ontosoroh, sang ibu ideologi dan roda pendorong baginya. Benarlah kiranya sebuah pepatah mengatakan bahwasannya dibalik seorang lelaki hebat pastilah ada wanita hebat pula dibaliknya. Dan dalam hal tersebut, Nyai Ontosoroh adalah bagian penting dari gerakan dan peradaban yang dibangun minke. Terakhir penulis mengutip sedikit dialog yang cukup monumental antara minke dan Nyai Ontosoroh berikut ini :
“Kita kalah, Ma“
“Kita telah melawan Nak, Nyo. Sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya“

Tinggalkan komentar