Seorang kawan agak menyesal selesai makan karena terlalu kenyang. Sudah kenyang, kok menyesal? Saya, anda, mungkin juga pernah merasakan. Tak enak makan terlalu kenyang.
Perasaan itu sebetulnya kurang baik, karena banyak orang tak bisa makan. Sudah makan, harusnya, bersyukur. Banyak orang, tak bisa makan karena banyak uang, atau sebaliknya?
Tak bisa makan, karena memang tak ada yang dimakan. Atau tak bisa makan karena penyakit yang diderita. Padahal yang mau dimakan, apa pun bisa dibeli, karena saking banyaknya uang.
Ini sudah makan, menyesal? Itu karena terlalu kenyang. Makanya, kata Nabi, makanlah ketika lapar dan berhenti sebelum kenyang. Kalau itu yang dipraktikkan, tak akan ada kata, menyesal.
Memang lebih mudah makan ketika lapar daripada berhenti sebelum kenyang. Namanya orang lapar, kadang lupa saking asyiknya, tak bisa lagi menahan diri, sehingga berakhir dengan kekeyangan.
Menyesal? Karena tak bisa ngapa-ngapain lagi. Dibawa berdiri, duduk, berbaring, tak ada yang enak. Bernafas pun sulit. Sudah makan, kantuk datang. Dan tak ada lagi yang bisa dikerjakan.
Kebetulan, kawan saya itu seorang penulis novel. Lima novel sudah dihasilkannya. Dia menyesal setelah makan karena kekenyangan. Otaknya buntu. Berpikir paling enak saat lapar, “katanya. Entah. Apa orang lapar bisa berpikir?
Ada pula seorang pengamat bilang, bahwa syarat seorang menteri itu salah satunya sudah kenyang. Entah apa pula yang dimaksudnya? Sudah kenyang pengalaman atau sudah kenyang harta, karena itu tak akan korupsi, atau apa?
Entahlah. Kadang untuk dunia, jabatan, harta, ada orang yang tak bisa kenyang. Buktinya, sudah tinggi jabatan, sudah banyak harta, tetap saja korupsi. Itu syarat yang mengada-ada, menurut saya.
Sebab, untuk itu semua, orang hanya seperti meminum air laut. Makin diminum makin haus. Tak ada istilah puas, kenyang. Apa ada orang yang sudah kenyang dengan jabatan, harta, dan lain-lain itu? Entahlah. Jarang pula ada penyesalan, di sini.