Menyederhanakan

Awalnya ku pikir mengajukan kesempurnaan adalah cara terbaik dalam menentukan sebuah pilihan. Tidak salah bukan? Siapapun pasti inginkan yang terbaik didalam kehidupan apa lagi kalau sudah menyangkut masa depan.
Entah itu pendidikan, pekerjaan, termasuk juga pernikahan.
Lembar pilihan itu bertebangan didepan mata. Bingung adalah sebuah kata yang ingin ku ungkapkan, Namun tetap saja hati hanya boleh berlabuh pada sebuah pelabuhan.
Memilih dan dipilih adalah sebuah konsep masa depan. Memilih yang terbaik diantara yang baik, sudah barang tentu menjadi rebutan.
siapa sih yang gak mau?
Bukan munafik, jiwa inipun ingin berkompetisi untuk mendapatkannya. Mulai dari pendidikan, pekerjaan dan juga pernikahan. Berkompetisi mendapatkan yang terbaik bukanlah sebuah hal yang fatal, namun tetap saja berkedok jubah kesalahan. Berlandaskan dunia, bertahta bangga, dan bertabur ria adalah sebuah harapan yang menyesatkan langkah perjuangan ini. Ingin tampil beda dengan pendidikan yang dipunya, ingin menjadi percontohan dengan suksesnya dunia kerja, dan ingin tampak indah dengan pasangan yang menawan adalah sebuah latarbelakang kepahitan.
Tak adalah yang benar-benar salah, hanya saja salah niat tentu akan berdosa.
Picik adalah kata yang terlontar pada diri yang hanya bisa mengukur dari pundi-pundi. Bukan munafik lari dari kenyataan bahwa hidup adalah sebuah perjuangan, yang patut untuk diperjuangkan adalah sah-sah saja jika aku inginkan pendidikan yang “wow”, pekerjaan yang “excellent” dan pasangan yang “keren”.
Namun, semua berubah (*bukan karena Negara Api yang menyerang..hihi)
Hanya saja percakapan tempo hari dengan seorang teman yang membuat ku sadar bahwa perkara hidup bukanlah merumitkan dengan pilihan-pilihan yang ku buat sendiri. Namun haknya hidup adalah Menyederhanakan.
Jika orientasi adalah dunia dengan embel-embelnya (red: kesenangan, kebanggaan, kepuasan, terkenal, kaya raya) maka tidak sedikit percontohan kekecewaan yang silih berganti ditayangkan.
Namun lagi dan lagi jika alasan murni menyederhanakan adalah akhirat, maka tenanglah “sedikit lagi kau akan sampai pada titik kebahagian”.
“Jangan takut dengan miskinnya harta, namun takutlah pada miskinnya jiwa”
“Jangan takut dengan apa yang akan dikatakan mertua, namun takutlah saat kau tak bisa membangun surga dengan anak yang disayanginya”.

Tinggalkan komentar