“Tidak perlu berkeliling dunia, cukup duduk tenang ditempat mu saja. Karena jika kau bukan orang berpunya, agak mustahil untuk mewujudkannya”.
Peribahasa lama, membaca adalah membuka jendela dunia. Tanpa harus mengeluarkan lebih banyak pundi pundi barang tentunya.
Terlahir di sebuah perkampungan yang boleh dibilang jauh dari peradaban kemajuan membuat aku hanya bisa mengais sedikit mimpi tanpa pernah tahu kapan semua akan menjelma. Mendapatkan informasi dikala itu hanya bermodalkan radio lama, tak ada tempat baca ataupun televisi berwarna.
Namun kemauan ku untuk bisa menjadi manusia yang mengubah tidak pernah padam, berharap suatu saat nanti bisa membangun peradaban yang ku mulai dari awal pijakan perjalanan.
Merangkai kata mengeja bahasa dan membaca adalah modal awal untuk ku mengubah semua menjadi nyata. Di usia yang masih dini, bermodalkan majalah bekas, buku hibah dari empu yang tidak lagi membutuhkannya aku tampung di sudut rumah namun terlebih dahulu telah melahapnya. Membiarkan menggunung dan menyusuri ibaratkan lembah, ku susun dengan rapi semuanya. Sampai akhirnya berbentuklah kira kira rupa pustaka.
Lambat laun satu dua, tiga empat mulai ku tawarkan akan adanya dunia di sudut rumah. Meski berbentuk jendela ku berharap mereka mau menengoknya. Siapa sangka, ternyata teman teman di kampung tertarik untuk sekedar mampir. Barang jualan ku pun laku, bahan bacaan mereka kini bertambah, tak lagi per kata namun sudah sepersekian kalimat.
Makin tinggi minat seharusnya bahan bacaan semakin bertambah, namun kendala keuangan keluarga dan donatur tidak mencukupi. Dan peminjaman yang belum terarah penataannya membuat buku lama tidak bisa berganti dengan buku baru. Alhasil modal pun lenyap.
Itu adalah sepenggal perjalanan dimasa lalu. Punya taman baca, berbagi ilmu dan pahala adalah mimpi yang sebenarnya bisa ku buat nyata. Namun lama kelamaan, karena kemajuan zaman, sibuknya dengan pelajaran membuat ku lupa akan bingkai lama dunia di sudut rumah.
Namun minat ku akan dunia baca tidaklah punah. Bertambahnya usia mewajibkan ku untuk selalu bisa lebih banyak membuka jendela dunia. Alhamdulillah setengah dari mimpi yang ditawarkan bacaan membuat ku terdampar di kota metropolitan, berbeda dengan puluhan tahun yang lalu saat hawa perkampungan masih ku rasakan.
Kini, setelah merantau aku menyadari. Di kota memang menawarkan kemajuan zaman dan juga kemajuan teknologi, akan tetapi membuat jendela dunia itu tidak terabaikan kembali. Dan semua itu berdampak ke desa ku. Ada sisi positif dan negatifnya dari berkembangnya teknologi. Mudahnya mendapatkan informasi namun minimnya minat membaca dari buku membuat ku tergerak kembali mewujudkan mimpi dunia di sudut rumah.
Bukan di kota, namun di desa lah akan ku mulai mendirikannya. Jarangnya akses akan bahan baca membuat ruang baca pun menjadi penyegar generasi selanjutnya. Mewujudkan jendela dunia tanpa harus berkeliling dunia, cukup duduk tenang di sudut rumah sudah mulai berangsur mendirikannya. Dengan cara mengoleksi beberapa buku semasa di bangku kuliah. Namun ini belumlah cukup untuk modal disana. Perbandingan buku yang aku punya dengan jumlah anak anak disana tentu tidak sebanding, untuk itu saya sangat berharap akan bantuan bacaan bagi ruang baca anak anak di desa sana.
Agar terjaga kualitas ilmunya tidak tertipu apa lagi terpedaya dengan negatifnya kemajuan teknologi. Dan mereka tidak lupa akan makna turunnya ayat pertama dalam tuntunan hidupnya yaitu “Iqra” bacalah.
Pegiat membaca lewat sudut rumah adalah harapan terbesar untuk anak anak di kampung ku nan jauh disana. Kemajuan zaman tidak membuat mereka lupa akan tradisi lama dari nenek moyangnya yaitu membaca.
menginspirasi sekali cerita nya kak.. saya jadi ingin punya rumah baca juga untuk anak-anak..