Masjid Ramah Pemuda VS Masjid Ramah Anak

Menurut pendapat saya pribadi jauh lebih penting masjid ramah anak daripada ramah pemuda. why?
Pemuda itu sudah baligh, punya otak, punya nalar bisa membedakan mana yang baik dan buruk, sudah tahu tentang perintah shalat, kecuali tidak pernah diajarin. Artinya pemuda mempunyai tanggung jawab ibadah. Kalau dia enggan pergi sholat ke masjid tentu sudah tahu konsekuensinya. Perihal dia nyaman atau tidak terhadap masjid, itu urusan bagaimana dia beribadah dan bersikap saja. Yang namanya orang ibadah tentu ada aja setan yang menganggu. Dibuatlah masjid tampak tidak nyaman, tidak friendly, dan tidak tidak yang lainnya, dengan dalih pembenaran untuk enggan pergi ke masjid. Akhirnya lahirlah ide masjid ramah pemuda which is katanya gaul tapi tetap bisa taat. Ada musik, live dance, cafe, dan hal yang dianggap ke-kinian. Lalu apa bedanya dengan masjid di dalam mall. Lebih lengkap malah. Apa itu semua menjamin pemuda betah di masjid? not really yah. Inget yang namanya setan itu punya seribu satu cara mengganggu manusia.
Menurut saya pribadi, banyaknya pemuda yang katanya enggan ke masjid itu bersumber dari pengalaman masa anak-anak. Mungkin dulu pernah diomelin engkong atau bapak-bapak waktu main sepeda di halaman masjid. pernah diomelin gara-gara main air pas wudhu. pernah dijadikan anak bawang pas shalat berjamaah. Dan masih banyak kasus complicated lainnya. akhirnya membuat anak enggan berlama-lama di masjid.
Saya pribadi lebih suka dengan ide masjid ramah anak. kenapa? karena sebelum jadi pemuda jadi anak-anak dulu kan ya? Pengalaman saat anak akan membangun “Cinta pertama” calon pemuda sholeh terhadap masjid. Kalau dari anak-anak sudah terpaut hatinya dengan masjid. Insya Allah ketika sudah jadi pemuda. Mau masjid seperti bagaimana pun dia akan tetap pergi ke masjid. tidak akan banyak alasan.
Masjid yang anak-anak nyaman berada di dalamnya. para Dewan Kemakmuran Masjid (DKM) yang ramah sekali dengan anak-anak, bukan DKM yang tukang ngomel dan marah kepada bocah. Tempat wudhu dibuat yang ramah anak, ukuran anak, tidak licin dan pokoknya yang support anak. Ada perpustakaan anak. Ada arena panahan, ada buat sepeda-an, ada tempat buat mabit anak yang pengen mabit tentu dengan agenda-agenda yang “keren” dari para ustadz, ada tempat anak belajar dengan ustadz yang sangat ramah anak. Ada kajian buat orangtua juga, seperti seminar untuk sinkronisasi antara pendidikan anak di masjid yang di ampu oleh ustadz dengan yang diterima anak di rumah. Sehingga support system terbangun dengan baik. Tidakkah kita ingin masjid yang seperti itu?
Akan jadi menyenangkan dan seru jika anak laki-laki tersebut betah di masjid. Ada ustadz pengampunya juga, anak belajar azan yang baik, pas giliran waktu shalat kalau dirasa anaknya mampu untuk azan dipersilahkan bukan malah berebutan dan dimarahin sama bapak-bapak. Anak diajarin cara wudhu dengan ramah supaya tidak terlalu bercanda. Anak-anak bercanda saat wudhu itu karena dia belum mengerti apa itu wudhu dan bagaimana wudhu. Tempat wudhunya dibuat khusus buat anak, biar tidak kesusahan dan basah kuyup gara-gara tempatnya tidak ramah anak. Anak diajari tata cara shalat berjamaah diluar waktu shalat dan didampingi ketika shalat berjamaah. Bukan malah diomelin. Mengomel saja tidak akan menyelesaikan masalah. Orang tua siap mendampingi pendidikan anak selama di masjid.
Masjid ramah anak ini kelak akan jadi awalan pemuda yang memenuhi shaf ketika shalat subuh. pemuda yang siap mendengarkan kajian dhuha. pemuda yang berpartisipasi aktif di malam-malam Ramadhan. pemuda yang akan menggantikan adzan sesepuh dengan suara emasnya. pemuda yang menggantikan Imam dengan bacaan quran yang tartil dan penuh ke khusukan.
semua berawal darimana? dari masa anak-anak.

Tinggalkan komentar