Siapa sih yang gak kenal dengan Mohammad Natsir. Negarawan Muslim, ulama intelektual, tokoh pembaharuan dan politikus kenamaapn, itulah predikat yang bisa disematkan pada tokoh Muslim yang satu ini.
Lahir pada 17 Juli 1908, di Alahanpanjang, Sumatera Barat. Ketika baru berusia 8 tahun, Mohammad Natsir belajar di HIS (Hollandch Inlandsche School) Adabiyah, Padang dan tinggal bersama makciknya. Kemudian dipindahkan ke HIS pemerintah di Solok dan tinggal di rumah Haji Musa, seorang saudagar. Pada 1923, ia meneruskan sekolah ke MULO (setingkat SMP sekarang) di Padang. Disana ia menjadi anggota JIB (Johg Islamieten Bond) Padang dan bersentuhan langsung dengan gerakan perjuangan. Pada 1927, ia melanjutkan ke AMS (setingkat SMA) di Bandung. Selama di AMS, ia belajar agama di Persatuan Islam (Persis) dengan bimbingan pendiri dan pemimpinnya, Ustadz A. Hasan.
Sejak di MULO, ia mulai mengenal semangat perjuangan. Ia masuk menjadi anggota kepanduan JIB bahkan menjadi ketua (1928-1932) di JIB cabang Bandung. Minatnya terhadap politik, perhatiannya atas nasib bangsa dan tekadnya untuk meluruskan kesalahpahaman umat akan ajaran agama telah melibatkan dirinya dalam bidang politik dan dakwah. Beliau turut membidani penerbitan Pembela Islam. Melalui tulisan-tulisannya, Natsir membela islam dari kaum misionaris dan sekularis.
Karena kejujurannya dalam perjuangan, pada masa kemerdekan ia dipercaya menduduki jabatan-jabatan penting dalam pemerintahan Republik Indonesia. Kejujuran itu pula yang mengundang seorang Indonesianis, George McTuman Kahin berkomentar untuk Natsir. “Dia (Natsir) tidak bakal berpakaian seperti seorang perdana menteri, namun demikian, dia adalah seorang yang amat cakap dan penuh kejujuran; jadi kalau Anda hendak memahami apa yang sedang terjadi dalam republik, Anda sudah seharusnya berbicara dengannya.”
Moh. Natsir pernah menjabat sebagai direktur Pendidikan Islam di Bandung, wakil ketua KNIP (Komite Nasional Indonesia Pusat), Menteri Penerangan RI, ketua umum Masyumi, anggota DPR hingga menjadi Perdana Menteri pada 1950-1951. Beliau pernah ditahan di Rumah Tahanan Militer (RTM) sejak 1962-1966 dengan tuduhan ikut terlibat PRRI kemudia dibebaskan di awal rezim Orde Baru tetapi dilarang berpolitik. Selanjutanya aktivitas dakwahnya dilanjutkan dengan bergabung berbagai organisasi Islam. Seperti Kongres Muslim Sedunia (1967), Majelis Ta’sisi Rabitah af-Alam al-Islami dan Majelis Ala al-Alami lil Masjid yang berpusat di Mekkah. Sedangkan di Indonesia sejak 1867 sampai dengan masa tuanya, ia dipercaya menjadi ketua DDII (Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia). Beliau juga adalah pelopor LDK (Lembaga Dakwah Kampus) di Indonesia.
Pada akhirnya Natsir meninggal pada 6 Februari 1993 di Jakarta. Dengan kontribusinya terhadap negara Moh Natsir layak diberi gelar pahlawan.
Beberapa peninggalannya adalah 45 buku atau monograf. Beberapa ditulis dalam bahasa Belanda dan Bahasa Indonesia, dan juga bahasa Inggris. Karena keberaniannya dan kejujurannya, Moh. Natsir merupakan tokoh pahlawan Indonesia yang menginspirasi pergerakan Islam di Indonesia di masa yang akan datang.