Kaum Ibu dan Pembentukan Karakter Generasi Pemimpin

Tersanjunglah wahai perempuan karena Allah telah memuliakan perempuan dengan hak penghormatan yang lebih dibandingkan seorang Ayah. Sebegitu besar dan mulianya kedudukan seorang Ibu hingga Nabi dalam sebuah hadist mengulangnya sebanyak tiga kali sedangkan Ayah hanya sekali.
Dari Abu Hurairah ra., beliau berkata, “Seseorang datang kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam dan berkata, ‘Wahai Rasulullah, kepada siapakah aku harus berbakti pertama kali?’ Nabi shalallaahu ‘alaihi wasallam menjawab, ‘Ibumu!’ Dan orang tersebut kembali bertanya, ‘Kemudian siapa lagi?’ Nabi shalallaahu ‘alaihi wasallam menjawab, ‘Ibumu!’ Orang tersebut bertanya kembali, ‘Kemudian siapa lagi?’ Beliau menjawab, ‘Ibumu.’ Orang tersebut bertanya kembali, ‘Kemudian siapa lagi,’ Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam menjawab, ‘Kemudian ayahmu.’” (HR. Bukhari no. 5971 dan Muslim no. 2548).
Hadits di atas merupakan bukti bahwa Allah memuliakan kedudukan seorang Ibu 3x lipat dibandingkan seorang Ayah. Bagaimana tidak? Ibu lah yang mengandung dalam kepayahan selama kurang lebih sembilan bulan. lalu melahirkan dengan penuh perjuangan antara hidup dan mati, kemudian menyusuinya selama 2 tahun. Ibu akan mengutamakan anaknya diatas kepentingan pribadinya. Belum lagi doa-doa panjang dalam sujudnya adalah untuk anak-anaknya.

Peran Ibu Dalam Pembentukan Karakter Anak

Al-Ummu Madrasatul Ula, Iza A’dadtaha A’dadta Sya’ban Thayyibal A’raq.
“Ibu adalah sekolah utama, bila engkau mempersiapkannya, maka engkau telah mempersiapkan generasi terbaik.” (Pepatah Arab)
Mengapa seorang Ibu dikatakan sebagai sekolah utama bagi anak-anaknya?
Sejak dalam kandungan, rahim Ibu adalah tempat pertama seorang anak berinteraksi dengan lingkungannya. Secara alamiah kedekatan emosional antara anak dan Ibu sudah terjalin sejak dalam kandungan. Meskipun masih dalam kandungan, bayi sudah bisa mendengar. Maka dari itu kenapa pakar parenting selalu menekankan agar sering memperdengarkan murottal Al-Qur’an, mengajaknya berbicara dengan ungkapan positif dan menyenangkan, dan mengusap perut Ibu. Stimulasi tersebut dapat mengasah kecerdasan otak, bayi merasa dicintai, dan akan mengenali suara Ayah Ibunya meskipun belum terlahir.
Dari sinilah peran Ibu sebagai “guru” diperlukan. Namun perlu diingat bahwa kita tidak boleh menafikkan peran Ayah. Ayah adalah Kepala sekolah yang menentukan visi, misi, dan motto keluarga. Ayah sebagai Nahkoda yang harus tahu dan paham arah tujuan organisasi kecil yang bernama keluarga ini akan berlayar kemana.
Ibarat Ayah adalah lambang maskulinitas, ketegasan, dan kepemimpinan, maka sosok Ibu adalah cermin dari feminitas, kelembutan, tempat mengadu, pendengar yang baik, dan ketenangan. Seorang anak baik itu laki maupun perempuan membutuhkan kedua aspek tersebut maskulinitas dan feminitas, namun dengan porsi yang disesuaikan kebutuhan. Dengan demikian, pembentukan karakter anak bukan hanya sekedar tanggung jawab seorang Ayah ataupun Ibu saja. Diperlukan kerjasama dan pembagian tugas yang baik, kompak, dan solid antara Ayah dan Ibu.
Nah, lalu apa saja peran seorang Ibu dalam membentuk karakter anak?

1. Bagi calon Ibu

a. Berilmu, mulai dari sekarang dan saat ini juga galilah ilmu sebanyak-banyaknya mengenai psikologi pernikahan, ilmu parenting, psikologi keluarga, komunikasi gender, perencanaan keuangan, manajemen waktu, biografi tokoh dan lain-lain. Mengapa saya sarankan untuk segera belajar hal-hal tersebut meskipun anda mungkin belum memiliki anak ataupun suami? Karena kita harus memantaskan diri terlebih dahulu sebelum Allah mengembankan amanah tersebut kepada kita. Jangan sampai kita “gupuh, terpontang-panting,” dan baru belajar saat amanah itu tiba-tiba dibebankan pada kita. Misal, baru belajar perbedaan karakter laki-laki dan perempuan saat sudah menikah, baru belajar parenting saat anak sudah lahir. Tidak ada ruginya belajar dari sekarang. Kita bisa mempelajari hal tersebut dan mencoba “berlatih” dan menerapkannya saat masih menjadi anak dari orang tua kita.
b. Tuntas kewajiban sebagai anak. Tunaikan kewajiban anda sebagai anak terhadap orang tua. Sering-seringlah menjenguk orang tua, terutama yang anak perempuan. Selesaikan bila anda masih menyimpan dendam masa kanak-kanak terhadap orang tua. Bila kita merasa ada hal-hal yang belum kita ikhlaskan dari masa kecil kita, saran saya “jangan menikah dulu”, karena akan menyebabkan timbulnya masalah di kemudian hari terutama masalah pola pengasuhan terhadap anak. Saya dan rekan-rekan senior di psikologi biasa menyebutnya sebagai “dendam positif”. Contoh, misal kita merasa tidak puas dengan pengasuhan orang tua karena merasa mereka terlalu sering melarang, maka “dendam positif” yang biasanya terjadi saat kita memiliki anak sendiri adalah kebalikannya, kita akan cenderung membebaskan anak karena kita tidak mau anak-anak kita mengalami nasib yang sama. Saran saya, lakukanlah muhasabah sebanyak-banyaknya atau saya lebih suka menyebutnya tazkiyatunnafs, mensucikan diri/jiwa.

2. Bagi yang sudah menjadi Ibu

a. Tidak ada kata terlambat. Tengoklah kisah wanita anshar, mereka mendapat pujian dari Aisyah ra dan Rosulullah karena malu tidak menghalangi wanita anshar untuk belajar dan bertanya mengenai hal-hal yang pada zaman itu dianggap tabu. Lakukan tazkiyatunnafs, penyucian jiwa. Nyatakan sikap anda pada Allah bahwa anda ridho terhadap peran yang telah Allah titipkan menjadi wanita, seorang isteri, seorang menantu, seorang anak, dan seorang Ibu. Terkadang ada yang merasa kesulitan dalam mendidik anak, merasa anak nakal, merasa anak kurang mendengarkan atau mengabaikan perintah, dan sebagainya dikarenakan kita sebagai orang tua masih belum ikhlas dengan peran yang telah Allah bagi.
b. Pelajari karakter tiap-tiap anggota keluarga. Ini akan membantu dalam mengenali karakter anak. Watak itu sifatnya herediter alias turunan dan sifatnya cenderung menetap. Watak merupakan bagian dari fitrah yang memang Allah lekatkan pada setiap individu. Namun, kepribadian bisa berkembang dan merupakan hasil dari pola pengasuhan dan interaksi dengan lingkungan.
c. Pelajari karakter diri dan pasangan. Meliputi kelebihan dan kekurangan, termasuk bakat dan passion karena kita perlu memetakan potensi anak, dan ini juga sifatnya turunan dan kurang lebih tidak jauh-jauh dari orang tua.
d. Carilah komunitas belajar Ibu, insyaAllah sekarang sudah banyak.
e. Komunikasikan dengan pasangan dan keluarga.

Membentuk Karakter Generasi Pemimpin

“Setiap dari kita adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawabannya kelak diakhirat”. Begitulah bunyi penggalan hadits riwayat Imam Bukhari.
Dikatakan pula oleh seorang pakar parenting Ust. Harry Santosa dalam FITRAH BASED EDUCATION bahwa “menjadi pemimpin itu adalah fitrah bagi setiap manusia”. Fitrah ini sudah Allah install dalam setiap diri manusia disamping fitrah-fitrah yang lain (fitrah keimanan, fitrah seksualitas, fitrah belajar, dll).
Maka dari itu saya kurang sepakat bila ada yang mengatakan hanya orang tertentu saja yang bisa menjadi pemimpin. Mungkin bisa dikatakan bahwa fitrahnya kurang tumbuh dan kurang muncul. Karena hakikat fitrah itu sudah ada namun harus ditumbuhkan melalui pola pengasuhan yang baik dan mendukung fitrah tersebut untuk muncul.
Jadi karakter pemimpin merupakan karakter yang pasti ada dalam setiap diri muslim. Pembentukan karakter tidak bisa serta merta atau semalam jadi. Butuh proses sejak anak masih dalam kandungan dan kemudian saat berada pada fase usia dini.
Lalu karakter seperti apa yang dikatakan sebagai karakter generasi pemimpin (baca, karakter muslim)?
Apa saja yang harus dilakukan agar anak tumbuh dan memiliki karakter sebagai seorang muslim?
10 Karakter kepribadian muslim Hasan Al-Banna dan bagaimana membentuknya, yaitu:
1. Aqidah yang bersih
Bersih Aqidahnya. Terhindar dari syirik. Dasar dari karakter ini adalah keimanan, trust, faith. Anak akan tumbuh bersih aqidahnya apabila memiliki dasar iman yang kuat. Dasarnya adalah trust terhadap orang tua dimasa kecil menyusui dan saat penyapihan usia 0-2. Tugas orang tua (Ibu) adalah menyusui dengan ikhlas, diniatkan sebagai bentuk jihad seorang Ibu. insyaAllah jika fase ini dapat dijalankan dengan baik, basic trust / iman anak akan baik pula.
2. Shahihul ibadah
Ibadah yang benar. Sesuai Al Qur’an dan Sunnah. Kewajiban orang tua adalah memberikan tauladan dan mengkondisikan lingkungan. Tidak terlalu cepat menginginkan anak sholih namun menghargai proses saat anak mulai menampakkan keinginannya menirukan gerakan sholat meskipun tidak sempurna, sering mengajak anak ke masjid, dan mengenalkan Allah dengan imaji positif.
3. Matinul khuluq
Akhlaq yang mulia. Dengan dicontohkan dan menghargai proses. Akhlaq berbeda dengan fitrah. Jika fitrah ditumbuhkan, maka akhlaq adalah ditanamkan. Sehingga ada proses belajar, keteladanan, dan pembiasaan.
4. Qowiyyul jism
Kuat fisiknya. Anak butuh tuntas motorik kasarnya di saat usia pra sekolah 0-7 tahun.
5. Mutsaqoful Fikri
Luas wawasan berfikirnya. Cinta membaca. Dilakukan bertahap mulai dari hanya suka membuka halaman buku, dibacakan buku oleh orang tua. Dan keteladanan orang tua yang juga cinta membaca.
6. Qodirun Alal Kasbi
Mandiri secara finansial. Anak tidak serta merta tumbuh menjadi dewasa dan mandiri secara finansial jika ia belum memahami konsep tambah usia tambah tanggung jawab, nilai dan makna uang, serta kewajiban setiap muslim yang baligh dan taklif (mampu menanggung beban syariah). Proses anak menjadi mandiri dimulai dari usia dini. Mulai belajar memilih baju sendiri, makanan yang disukai, dsb.
7. Mujahidun linafsihi
Kesungguhan yang bersumber dari motivasi internal. Sejak usia dini biasakan mengapresiasi pencapaian anak walaupun hanya pencapaian kecil, bisa dengan pujian atau pelukan, dan tidak harus materi. Semisal mau makan sendiri, mandi sendiri atau hal-hal kecil lainnya. Anak-anak yang terbiasa diapresiasi akan menjadi anak yang tumbuh percaya diri. Dan saat dewasa tidak menjadi orang yang mudah galau. Kalaupun galau, galaunya galau sholih, baper sholih, bukan karena cari perhatian.
8. Haritsun ‘ala waqtihi
Efisien menggunakan waktu. Pembiasaan anak agar berekspresi di waktu dan tempat yang tepat.
9. Munazhom fii su’unihi
Mampu mengatur urusannya dengan rapi dan tertata.
10. Naafiun lighoirihi
Keberadaanya memberikan kebermanfaatan bagi orang lain.

Satu pemikiran pada “Kaum Ibu dan Pembentukan Karakter Generasi Pemimpin”

  1. Wah ternyata banyak yang harus disiapkan saat menjadi ibu… Kerjaan setelah nikah

    Menarik sekali bahasan nya. Izin save ya mbak?

    Balas

Tinggalkan komentar