Dulu, apabila hendak melakukan aksi di luar kampus, apalagi aksi protes, tak ada istilah restu dari dosen, apalagi pihak rektorat (rektor). Kalau ada, itu satu dalam seribu. Mahasiswa yang nekat pergi, tak hanya nilainya yang bermasalah, juga kuliahnya. Tak ada istilah kompromi, apalagi membangga-banggakan aksi di luar kampus itu.
Itulah yang dinamakan aktivis mahasiswa. Wajar, nilainya berantakan dan kuliahnya tak selesai-selesai. Kalaupun selesai, waktunya lama sekali. Apakah mereka tak pintar? Secara kepintaran, biasanya mereka di atas rata-rata dibandingkan mahasiswa yang hanya sekadar kuliah saja. Minimal, dia mengetahui persoalan secara lebih baik. Lagaknya biasanya putus, mantap.
Apakah tak ada dari mereka yang nilainya bagus dan kuliahnya selesai dengan tepat waktu? Ada, tentu saja ada. Pengecualian. Tapi pastilah tak banyak karena bukan fenomena yang lazim. Di antara mereka ini ada juga yang mengambil jalur akademisi dengan menjadi dosen. Tapi lazimnya tersebar ke mana-mana dan ada juga yang menghilang tak tahu rimbanya.
Kini, menjadi mahasiswa enak sekali. Aksi protes di luar kampus, malah disuruh dosen, tak hanya sekadar restu, termasuk disuruh pihak rektorat (rektor). Himbauannya: Kuliah kita pindahkan ke jalanan! Keren sekali. Benar-benar tak ada yang se-keren itu lagi. Maka berbondong-bondonglah aksi protes mahasiswa. Tak hanya siang, sore, bahkan sampai malam hari seperti baru-baru ini terjadi.
Bisa jadi, absen diambil saat aksi itu. Yang tak ikut aksi, justru yang nilainya jelek dan bisa-bisa kuliahnya akan dihalang-halangi. Betapa jauh perbedaannya antara mahasiswa dulu dan kini. Dan betapa beruntungnya republik ini memiliki dosen dan pihak rektorat (rektor), termasuk mahasiswanya yang sangat peduli dengan apa yang sedang terjadi. Dijamin pihak penguasa, akan berpikir seratus kali membuat kebijakan yang tak berpihak pada masyarakat.
Apakah dosen kini atau pihak rektorat kini, adalah aktivis mahasiswa dulu, sehingga berlaku hal (hukum) yang sebaliknya? Mungkin saja. Tapi, banyak juga teman-teman aktivis dulu yang kini menjadi dosen, terlihat tenang-tenang saja. Kuliahnya tetap lanjut, tak ada perintah-perintah apalagi muncul di medsos, bahwa kuliah dipindahkan ke jalanan segala.
Bahkan dosen-dosen yang dulu aktif menyuruh mahasiswa aksi, kini lebih banyak diam, persis setelah Soeharto turun. Baginya tak ada lagi yang perlu didemo, setelah Soeharto benar-benar turun. Dia memilih mengajar para mahasiswa secara baik, tanpa gagah-gagahan lagi menyuruh mahasiswa aksi atau mengajar perkuliahan di jalanan, sambil mengepalkan tangan.
Sayang, suruhan atau restu untuk aksi protes itu hanya untuk satu rancangan Undang Undang yang sudah atau akan disahkan saja. Itupun setelah mosi tidak percaya, tanda tangan ini-itu, dan protes di dalam kampus, dirasa tak berpengaruh. Dalam isu-isu yang lebih substansial lainnya, hampir tak ada suara. Hampir tak ada suruhan atau restu-restuan itu. Semua seperti sibuk dengan diri masing-masing.
Apakah mahasiswanya tak bisa tergerak sendiri? Buktinya tak bisa. Betapa banyak isu-isu yang menuai protes sejak dulu. Bahkan aksi 411, 212, yang hampir membuat negeri ini berantakan, mahasiswanya tak terlalu banyak bersuara lantang dan signifikan. Soal Papua dan pindah ibukota pun misalnya, tak terlalu ditanggapi alias dingin-dingin saja ditanggapi oleh para mahasiswa. Padahal, itu bisa mengubah banyak hal.
Apakah menunggu suruhan atau restu dari dosen atau pihak rektorat (rektor) dulu, baru mahasiswa bergerak secara masif? Apakah hanya karena satu rancangan Undang-Undang yang sudah dan akan disahkan saja, baru mahasiswa bergerak? Apakah benar hal itu menyangkut hidup-matinya republik atau hidup-matinya reformasi di negara ini? Kalau tidak bagaimana? Coba timbang lagi baik-baik.
Tapi, dengar-dengar isu aksinya sudah dilebarkan. Tak hanya sekadar rancangan Undang-Undang itu saja. Hebat juga. Mungkin karena dosen dan pihak rektorat (rektor) ada di belakangnya. Tak ada yang seenak itu lagi menjadi mahasiswa kini.